Halaman

Minggu, 26 April 2015

TUGAS SOFTSKILL_3 #2

CERPEN : FANTASI (KHAYALAN)...

Taman yang indah pada suatu malam. Harum semerbak bunga yang menangis air mata dari akar-akar tandusnya. Kulakukan semua saat kekeringan yang ada mengalir menembus menerawang kebisuan awan-awan biru pada suatu masa. Kapankah saatnya dapat merasakan sebuah keindahan pada suatu waktu? Kapankah menerima sebuah penghargaan pada waktu bintang yang berbicara dan bermuka ceria? Akankah malam yang berlalu mengembalikan keindahan taman indahku?

Kalau pada waktu itu bunga tak menangis pasti rumput pun akan selalu tegar melawan kebuntuan musim semi yang berubah menjadi musim kering. Panas yang mengoyangkan lidah pohon-pohon besar. Cuaca semakin tak karuan. Semakin semerawut dengan adanya musim panas yang semakin menggila.

Bunga yang menangis kini tersenyum bahagia. Kekalutannya hanya untuk sementara. Rupanya air matanya telah membasahi sebagian taman indah. Rupanya air matanya telah membasahi sebagian taman indah. Bunga kemudian menangis kembali, semakin banyak air mata yang diteteskan, semakin banyak tumbuhan yang tertolong.

Aku menangis seperti halnya bunga dalam taman indah namun sangat kering. Aku sering melamun sekarang. Banyak keajaiban diluar kehidupan yang normal dan nyata. Betapa menderita sekali orang yang menikmati kekeringan sementara yang lain hanya berpangku tangan dan menuliskan kepedihan demi keuntungan. Apa yang mereka pikirkan sekarang? Cuma itukah hal yang dapat mereka kerjakan, sampai-sampai mendaratkan sejuta permintaan pada sidang rakyat yang terhormat. Aku tidak habis pikir dan semangat untuk menitahkan bahwa kebencian pun makin menjadi. Memang tidak selamanya air mata dapat mengisyaratkan penderitaan, tapi setidaknya jerit tangis adalah murni sebuah keadaan dimana kekuatan jiwa dapat menularkan semua percikan ketidakmampuan. Ah... andai saja aku adalah Presiden Indonesia. Aku tentu akan berperilaku sopan, santun, ramah dan bijaksana dalam menyikapi semua tanggung jawab yang memang diembankan kepadaku.

Ternyata aku bukanlah Presiden yang bisa merasakan penderitaan dan jerit tangis rakyat yang menderita. Aku terlalu senang dengan kemewahan dan kemunafikan seperti halnya penjilat yang mampu menelan ludahnya sendiri. Betapa teririsnya hati ketika seorang pengemis meratapi harinya yang malang. Hanya demi sebutir nasi, ia rela berjalan tanpa alas kakai dan berdiri di teriknya matahari.

Tak cukup itu, aku ternyata tak mampu mendidik generasi muda yang terjebak narkoba dan free sex. Night club makin marak dengan kedatangan pemuda-pemudi dari kalangan masyarakat. Sepertinya bulan Ramadhan pun tak mampu membentuk pribadi yang beribadah kepadaNYA. Lalu seperti apakah hal yang harus aku lakukan, dikala kebobrokan bangsa makin menggila dan moral sepertinya tak lagi menjadi yang mahal bagi suatu bangsa.

Sulit untuk mengatakan bahwa akulah Presiden yang bobrok dan baik sekaligus. Disatu sisi, ketakutan akan berbuat buruk merasuk kalbu. Namun disisi lain, pihak-pihak lain menginginkan keboborokan. Lalu seperti inikah dilema sebagi Kepala Negara yang harus memikirkan nasib bangsa yang makin tidak karuan.

Aku terbangun dari khayal yang tinggi. Seorang presiden sangatlah sulit dalam menentukan pilihan.
Kutatap wajah riang dihadapanku. Semakin lesu dan tidak bergairah. Sebuah raut dan mimik yang kurang jelas untuk seorang yang berparas Indobelanda. Wajahnya agak mirip bintang film Eropa, namun aku lupa namanya. Orang itu tersenyum. Entah karena apa atau karena aku terlihat agak menarik baginya. Sudahlah, aku arahkan pandangan ke awan-awan biru yang masih menganga dan terbang berlari riang tanpa beban dan harapan. Ya, memang itulah yang mereka harapkan dari kenyataan yang ada. Merekalah awan yang terbang bebas. Awan yang indah, awan yang berarak. Andai aku awan, aku akan berarak dan terbang sesuka hatiku. Ya, andai aku menjadi awan. Akulkah awan yang menguasai langit dan menutupi Bumi dari Matahari.

Awan bergerak diangkasa. Saat terbang, aku melihat seorang ibu mengendong anaknya. Sungguh sayang ibu kepada anaknya. Ah... aku sebagai awan harus rela menutupi ibu. Ibu itu terus berjalan. Tubuhnya berkeringat. Untung saja aku menghindarkannya dari sengatan matahari. Alangkah senangnya hatiku. Barangkali inilah tugas mulia yang diemban awan sebagai ciptaan Tuhan. 

Anaknya tertidur lelap. Ibu itu terus berjalan menuju ke suatu tempat yang nampaknya jauh sekali. Sepertinya masih setengah perjalanan yang harus dilalui lagi. Ibu itu berhenti disebuah gubuk kecil. Diletakkannya anak kecil mungil tak berdosa. Ibu yang baik dan sayang pada anaknya. Andai aku punya seorang ibu? Tapi, aku adalah awan yang berarak dan tidak pernah mengenal seorang ibu atau ayah. Maka jadilah aku awan yang terbang.

Kipas kecil dikeluarkan dari tas yang dibawa ibu itu. Rupanya ibu kepanasan. Gerakan mengipas membuat angis bertiup disekitar gubuk. Aku hanyut dalam buaian angin yang bertiup. Rupanya angin itu semakin membesar diantara angin-angin yang lain. Aku hanya bisa menutupi gubuk dari matahari, tapi rupanya aku tak sanggup meredakan panasnya matahari tengah hari yang membuat ibu itu terlepas dari perjalanannya. Yang harus kulakukan hanyalah menutupi . Angin semakin kencang dan terbanglah aku ke bidang yang lain. Yang tak jelas arahnya.
Anak kecil yang berjalan dengan gerobak kecil. Wajahnya yang kuyu tak bernyawa. Bagai mayat hidup, haus, lapar dan segala penderitaan yang harus ia jalani. Gerobak kecil itu berhenti. Tong-tong sampah terjamah tangan-tangan kecilnya. Puntung rokok, botol minuman dan kaleng-kaleng bekas sengaja dipisahkan dengan sampah biasa. Setelah berhenti sejenak, anak kecil berjalan kembali. Langkahnya makin berat dengan kondisi laparnya.

Aku mengikutinya dari atas. Menutupinya dengan segenap kemampuan mengembangkan diri. Kukembangkan seluruh tubuh yang terbuat dari ion-ion. Tapi tubuhku hanya cukup untuk menutupi sebagian tubuhnya. Segera saja kupanggil teman-teman awan yang lain. Tapi rupanya awan lain masih sibuk dengan tugasnya.

“Kenapa kau memilih menjadi awan?” tiba-tiba saja orang disebelahku bertanya. Aku hanya diam.
Aku agak terkejut. Kenapa dia mengetahui khayalanku. 
“Apa kau tahu khyalanku sebelumnya?”
“Ya, aku tahu semua khyalanmu.”
“Mengapa kau tahu?jangan-jangan kau seorang paranormal?”
“Bukan, aku bukan paranormal. Aku tahu karena aku punya khayalan yang sama denganmu Bahkan semua orang mempunyai khayalan.”

Jadi setiap manusia di Dunia ini mempunyai khayalan. Tapi kenapa hanya aku saja yang merasakan?
“Jadi, semua orang punya khayalan?”
“Ya, semua orang termasuk dirimu.” 
“Aku tidak bisa merasakan khayalan orang lain, tapi kenapa kau bisa merasakan khayalanku?”
“Bisa saja. Hanya bagaimana kita menfokuskan pikiran dan khayalan kita.”
“Ah, aku masih belum percaya.”
“Percayalah padaku.”
“Kenapa aku harus percaya padamu?”
“Karena akulah yang pantas dipercaya!”

Dengan setengah keyakinan akhirnya aku mempercayai pernyataan itu. Ah, rupanya orang itu telah mengetahui semua khyalanku. Bisakah khayalanku hanya bisa kurasakan sendiri.
Orang itu masih menatapku. Aku merasa takut. Jangan-jangan dia paranormal. Tapi tidak mungkin, dia sudah mengatakan bahwa dia bukan para normal. Sekarang saatnya melepaskan khayalan yang semu. Khayalan yang bisa membuat khayalan orang bersatu. Dapatkah?

“Bisakah khayalan kita menjadi kenyataan?”
“Aku rasa tidak.”
“Kenapa begitu yakin?”
“Cobalah lihat mata-mata yang haus akan sebuah perubahan. Cobalah! Kau akan mengerti.”
Sekejap mata, mataku bertemu dengan matanya. Mata yang indah berwarna kebiruan. Mata Indobelanda yang khas. Mata seorang pemuda yang gagah. Tapi aku juga seorang wanita seperti lainnya. Aku punya perasaan yang jauh kedalam hatiku. Kualihkan pandangan ke mata yang lain. Mata yang merah setelah menangis. Mata seorang wanita. Disebelahnya adalah mata seorang pria yang marah. Mata-mata lain yang membuat mataku semakin mengelegar.
Kuputuskan untuk berhenti pada suatu titik mata yang indah yang lain. Kutemukan mata yang bula dan memudar. Seperti mata yang haus akan kebangkitan yang mendalam. Kualihkan lagi pada mata yang semakin lama semakin menarik perhatianku. Mata yang sendu dari pemuda pejalan kaki. Aku tahu mata itu, dan sepertinya mata itu adalah mata Arya, teman sepermainanku yang baik. Namun, aku tak mampu menyapanya.

“Sudah kubuktikan perkataanku.” Aku terkaget kembali dengan ucapan orang itu.
“Oh.. ya, aku masih mencoba.” Sejurus kemudian, orang itu pergi tanpa bekas. Aku hanya duduk dan tak beranjak dari kursi disebuah taman di pinggir kota.

Andai aku adalah orang lain, aku pasti akan merasakan senang dan bahagia. Mereka selalu tersenyum dan merasa bahagia dengan dirinya sendiri. Sedangkan aku, aku selalu menderita.
Sekejap, orang Indobelanda berada disampingku. Aku agak penasaran dengan tingkahnya yang aneh.
“Dari mana saja kau?”
“Aku dari mana saja.”
“Maksudmu?”
“Aku dari daerah lain di dunia ini.”
“Aku belum tahu namamu, siapa namamu?’
“Namaku David.”
“Aku Kenanga.”
Hujan rintik-rintik membasahi jalan-jalan di luar taman. Aku tak mampu berkhayal lagi. sekarang hanya berkhayala tentang sebuah kenyataan.
Aku tersadar dari khayalan. Ternyata hanya berkhayalan tentang sesuatu yang tak nyata.
Aku bertemu seseorang bernama David disampingku. Siang itu langit tampak cerah tanpa awan-awan yang membentuk mendung. Hari ini, aku bercakap-cakap dengan kenyataan.
Sementara, mendung masih mengelayuti kenangan yang terindah yang aku miliki di masa lalu. Aku masih menatap kosong dan mendamba semua yang indah di kehidupanku dan kehidupan manusia lain di bumi ini. Karena aku telah melampaui semuanya di dunia. Aku telah meninggal setahun yang lalu. Aku masih menapaki jalan yang aku lalui setahun kemarin.